mangkunegaran

Sejarah Singkat Berdirinya Pura Mangkunegaran

Konflik internal perebutan kekuasaan oleh para keturunan Mataram ditambah dengan politik adu domba yang dilancarkan oleh Belanda (VOC saat itu) membuat pemberontakan semakin bergejolak dan siasat Belanda untuk menyusupi kekuasaan di Jawa berjalan mulus. Semenjak Perjanjkan Giyanti yang ditandatabgani tanggal 17 Februari 1755, kekuasaan Mataram dibagu menjadi dua kudu. Sunan Pakubuwono III menduduki wilayah Surakarta, sedangkan Sultan Hamengkubuwono I yang sebelumnya berkedudukan sebagai Pangeran Mangkubumi memerintah wilayah Yogjakarta. Keputusan untuk turut melibatkan Belanda dalam membantu pasukan perang saudara harus dibayar mahal oleh kedua keturunan Mataram tersebut karena perjanjian Giyanti selain sebagai jalan untuk meredam pemberontakan dan konfilk, perjanjian ini sesungguhnya memberatkan Mataram karena dengan perjanjian itu seluruh kegiatan politik kerajaan dipantau dan bahkan dikendalikan oleh Belanda. Raden Mas Said adalah keturunan Mataram yang teguh berpendirian untuk tidak berpihak atau melibatkan Belanda dalam kepemimpinannya menjadi salah satu alasan dirinya memberontak. Pemberontakannya dimulai semenjak Surakarta masih beribukota di Kartasura, ia memberontak bersama etnis Tionghoa untuk menyerbu VOC dan sekutunya, sebagai respon dari peristiwa Geger Pecinan di Batavia.

Ketika Pangeran Mangkubumi berubah haluan memihak Belanda, maka pemberontakan RM Said menghadapi tiga kubu, Pakubuwono III, Hamengkubuwono I, dan VOC. Namun bersatunya ketiga kekuatan tersebut ternyata tidak menyurutkan pemberontakan RM Said, malah ia menghendaki wilayah Mataram untuk dijadikan negeri yang terbebas dari pengaruh VOC bahkan Mataram. Akhirnya untuk menyelesaikan sengketa ini keempat kubu dalam sebuah perundingan yang berakhir dengan penandatanganan hasil perhndingan pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga, tepatnya di gedung VOC yang saat ini beralih fungsi menjadi kantor walikota Salatiga. Pada perjanjian ini Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta harus merelakan setengah dari wilayah kekuasaannya untuk RM Said atau Pengeran Sambernyawa. Dengan disepakati hasil perundingan ini, kemudian pada tahun yang sama RM Said mendirikan sebuah praja yang beribukota di Surakarta. Menurut perjanjian Salatiga, RM Said berhak untuk beberapa wilayah Mataram, namun kedudukannya tidak sama dengan sunan atau sultan, tetapi dirinya berhak menentukan kepemimpinan praja secara otonom. Secara administrasi, kekuasaan RM Said disebut Kadipaten dengan gelar Adipati (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya). Praja yang terbentuk kemudian dinamai Mangkunegaran, yang diambil dari nama ayah kandung RM Said yang diasingkan karena tidak mau memihak VOC. RM Said kemudian menjadi Adipati pertama dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Karena kedudukannya yang lebih rendah dibanding Kasunanan maka makam adipati juga tidak berhak ditempatkan di Astana Imogiri, makam raja Mataram, tetapi di Astana Mengadeg dan Girilayu yang terletak di lereng gunung Lawu. Meskipun kedudukannya lebih rendah dibanding Kasunanan atau Kesultanan Jogja, Mangkunegaran sejatinya merupakan penerus Mataram yang sesungguhnya karena pura ini memilih menolak campur tangan Belanda, hal ini menjadikan kekuasaannya memiliki otonomi yang luas sehingga Mangkunegaran juga terkenal dengan pasukan kerajaan yang tangguh. Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pura Mangkunegaran mengakui kepemimpinan republik dan menggabungkan diri pada NKRI. Meskipun tidak berperan menjalankan politik, kini Pura Mangkunegaran tetap menjalankan budaya dan tradisi Mataram warisan leluhur.

Sewa mobil Solo murah WisataSolo.ID 0818186285 menyediakan sewa mobil di Solo dengan harga terbaik.